Akhlak

Nak, Malulah!

Atma Wijaya Saputra, S.M.

ORDER

Nak, Malulah!
Atma Wijaya Saputra, S.M.

Satu hadis telah Nabi ﷺ sampaikan kepada umatnya beberapa abad yang lalu. Diriwayatkan dari Abu Hurairaha, beliau bersabda:

وَالحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمَانِ

“Dan malu merupakan cabang dari iman.”

Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa iman dibagi menjadi lebih dari 70 cabang, namun dari sekian banyak cabang, Nabi ﷺ hanya memberikan jenis cabang yang paling tinggi dan yang paling rendah. Lalu Nabi ﷺ menambahkan satu cabang istimewa lainnya yang belum diketahui. Cabang tersebut adalah rasa malu.

Tentunya banyak penjelasan para ulama terkait hadis di atas. Di antaranya menurut ahlussunnah wal jama’ah jika dipadukan dengan hadis jibril, maka dapat disimpulkan bahwa malu (haya) merupakan ’amal qalb. Mengapa demikian? Karena iman terdiri dari qaulul lisan (perkataan dengan lisan), amalul jawarih (perbuatan dengan anggota tubuh), amalul qalb (perbuatan dengan hati), dan i’tiqadul qalb (keyakinan dengan hati).

Tapi kenapa Nabi ﷺ hanya menambahkan rasa malu pada hadis tersebut. Bukankah cabang iman itu sangat banyak? Apa alasan di balik sabda beliau ﷺ tersebut?

Pembahasan

Haya (malu) menurut Abu Al Abbas Al Qurthubi adalah rasa risau dan keadaan malu yang muncul dari diri seseorang ketika mengerjakan sesuatu yang jelek atau tercela. Sedangkan menurut Azizah Hefni, malu adalah wujud perangai (akhlak) yang jauh dari hal-hal buruk. Sehingga rasa malu dapat diartikan sebagai rasa gundah yang berasal dari jiwa seseorang ketika mengerjakan hal yang bersifat buruk berdasarkan hati.

Rasa malu memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Dalam riwayat Ibnu Majah dan At-Thabrani dikatakan bahwa setiap agama memiliki akhlak dan malu adalah akhlaknya Islam. Lalu rasa malu juga dibahas dalam Riyadhus Shalihin pada pembahasan pertama dalam Kitab Adab yang menunjukkan akan keistimewaannya. Bahkan Ibn Atha’ mengatakan ilmu yang paling besar adalah rasa gentar dan malu.

Sayangnya, rasa malu ini kian terkuras dengan seiring berkembangnya zaman. Bahkan jika kita padukan dengan hadis Nabi ﷺ yang menyatakan bahwa iyanya wanita itu ketika diam karena malu, rasanya kita tidak akan menemukan wanita tersebut pada zaman ini. Bukan hadis Nabi ﷺ yang salah, akan tetapi rasa itu telah hilang dari banyaknya manusia sekarang. Sehingga bisa dikatakan bahwa hadis yang disampaikan di awal sebagai tanda bahwa Nabi ﷺ menginformasikan akan pentingnya menjaga rasa malu. Nyatanya rasa malu kian hari kian terkikis.

Jika menelaah peradaban, kita akan menjumpai banyak orang tua yang mengajarkan rasa malu kepada anaknya sejak dini. Ketika orang tua ingin mengenakan pakaian bayi misalnya, mereka selalu menyisipkan kalimat yang mengajarkan kepada anaknya untuk memiliki rasa malu. Ketika anak merengek, melakukan kesalahan atau melakukan perbuatan buruk, pasti para pendahulu kita memberikan pengajaran akan rasa malu. Tentu bukan rasa malu saja yang diajarkan, hal penting lainnya banyak diajarkan sejak dini. Nyatanya anak-anak yang tumbuh pada zaman dahulu memiliki perangai yang cenderung lebih baik di banding zaman now. Kasus-kasus kejahatan pun tidak sebanyak sekarang ini. Benarlah sabda Nabi ﷺ bahwa rasa malu hanya akan mendatangkan kebaikan.

Namun belakangan ini mulai tidak terdengar pelajaran rasa malu yang diberikan para orang tua sejak dini. Mungkin para orang tua sekarang terbawa pemikiran barat untuk mengatakan ‘jangan malu’ kepada anak, karena dapat membuat anak merasa bodoh dan rendah diri. Ada anggapan bahwa rasa malu dapat membuat anak menarik diri dan kurang mampu mengambil keputusan yang tepat. Rasa malu memiliki efek yang seolah mengatakan, “Kamu adalah orang yang tidak berharga.”  Rasa malu juga dikaitkan dengan depresi, kemarahan kronis, antisosial dan gangguan kepribadian borderline (Harder, Cutler & Rockart, 1992; Lewis, 1971; Tangney et al, 1996). Artinya pandangan barat ini selalu mengasumsikan bahwa rasa malu adalah bentuk emosi yang negatif.

Saran/Rekomendasi

Pertama, formula awal dalam pendidikan anak adalah menumbuhkan rasa malu. Ingat bahwa pendidikan utama ada pada pendidikan keluarga dan anak adalah anugerah yang harus dijaga amanahnya. Orang tua perlu menumbuhkan rasa malu, termasuk rasa sayang dan bukan kebalikannya. Bagaimanapun keluarga mendidik, itu adalah hak orang tua. Adapun saran bisa didapatkan dari orang lain. Tanyalah orang terdahulu bagaimana mereka mendidik seorang anak. Salah atau tidaknya pendidikan yang diterapkan bukan berdasarkan pendapat orang lain, tapi mintalah pendapat anak itu sendiri jika orang tua merasa salah dengan metode pendidikannya. Hal itu dapat dilakukan ketika anak sudah mencapai umur baligh.

Kedua, jika kita berfokus pada ilmu dunia, maka perlu diperhatikan apakah pemikiran yang diambil berasal dari barat atau ilmuwan muslim. Selalu sandingkan sebuah pendapat dengan wahyu Allah ﷻ, karena Allah-lah yang Maha Mengetahui. Jangan sampai malah menyebarkan pemikiran barat dan secara tidak sadar menghancurkan agama sendiri. Sebuah kabar menurut An-Nasafi bisa diambil atas dasar khabar shadiq atau penelitian. Dan penelitian itu ada yang yang sifatnya tsabitah (tetap) dan dzhanni (pemikiran). Jika kita sandingkan khabar dari Nabi yang pasti shadiq dengan penelitian yang sifatnya dzhanni, maka jelaslah bagi seorang muslim pendapat mana yang harus diambil.

Daftar Pustaka

Al Hilali, Abu Usamah Salim bin ‘Ied. (2005). Syarah Riadhush Shalihin. Jakarta: Pustaka Imam.
Al Qurthubi, Abu Al Abbas. (1996). Al Mufhim Lima Asykala Min Talkhishi Kitab Muslim. Beirut: Daar Ibnu Katsir.
Halodoc.com.
Hefni, Azizah. (2015). Jika Tidak Malu, Berbuatlah Semaumu!. Yogyakarta: Diva Press.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Check Also
Close
Back to top button