Mendidik Anak Berdasarkan Usia

Mendidik Anak Berdasarkan Usia
Yan Ferdianza, S.Pd., M.Si.
Salah satu kesalahan yang sering dilakukan oleh orang tua adalah mendidik anak tidak berdasarkan usianya. Hal ini terjadi karena ketidaktahuan orang tua dalam mendidik yang mengakibatkan anak jauh dari fitrah yang telah Allah ﷻ tetapkan. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dikenal sebagai sosok yang penuh hikmah, bukan hanya dalam urusan politik dan keagamaan, tetapi juga dalam urusan rumah tangga dan pendidikan anak. Salah satu pesan beliau yang sangat terkenal dalam dunia parenting Islam adalah pembagian fase pendidikan anak sesuai tahapan usia. “Biarkan anakmu bermain selama 7 tahun pertama, kemudian didiklah ia selama 7 tahun kedua, dan bertemanlah dengannya selama 7 tahun ketiga, lalu lepaskan ia (mandiri) setelah itu.”[1] Nasihat ini menggambarkan pendekatan pendidikan yang bertahap, sesuai dengan perkembangan jiwa dan akal anak.
- Usia 0–7 Tahun (Memperlakukan Anak sebagai Raja)
Pada masa ini, anak berada dalam fase pembentukan emosi dasar dan kepercayaan terhadap lingkungan sekitar. Melayani anak di bawah usia 7 tahun dengan sepenuh hati dan tulus adalah hal terbaik yang dapat kita lakukan. Orang tua perlu menyayangi anak dengan kelembutan, mengajak bermain dan belajar sambil bermain, serta menumbuhkan rasa percaya diri dan aman.
Hal ini sesuai dengan psikologi Islam. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menyatakan bahwa masa kecil adalah waktu terbaik untuk menanamkan cinta dan kelembutan. Pendidikan keras justru bisa merusak karakter anak. “Sesungguhnya anak-anak harus diberi perhatian dan kasih sayang sebelum mereka dewasa.”[2]
Maka intinya adalah pada tahap ini anak belajar dari sikap kita kepadanya. Jika kita lembut kepadanya, maka ia akan tumbuh menjadi orang yang lembut. Lembut di sini bukan berarti kita memanjakan. tetapi kita tetap tegas mengenai hal-hal yang baik dan tidak untuknya.
- Usia 8–14 Tahun (Anak sebagai Tawanan)
Inilah saatnya anak mengetahui hak dan kewajibannya, tentang akidah dan hukum agama yang diwajibkan maupun yang dilarang. Hal-hal tersebut di antaranya seperti mengerjakan salat 5 waktu, memakai pakaian yang bersih/rapi, menutup aurat, menjaga pergaulan dengan lawan jenis, membiasakan membaca Al-Qur’an, serta membantu pekerjaan rumah yang sesuai dengan kemampuan anak seusianya. Pada tahap ini anak juga mulai menerapkan kedisiplinan sehari-hari dengan system reward dan punishment.
Di fase ini anak mulai belajar logika, tanggung jawab, serta membedakan yang benar dan yang salah. Orang tua dapat mengajarkan mereka salat, puasa, dan ibadah dasar, memahamkan nilai-nilai moral dan akhlak, serta membiasakan tanggung jawab melalui tugas rumah. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah ﷺ, “Perintahkan anak-anak kalian untuk salat ketika mereka berusia tujuh tahun dan pukulah mereka (jika tidak salat) ketika mereka berusia sepuluh tahun…”[3]
Hadis ini menekankan pentingnya pendidikan yang konsisten dalam masa ini, namun tetap disesuaikan dengan metode yang bijaksana dan tidak kasar. Karena kedudukan tawanan dalam Islam sangatlah terhormat, ia mendapatkan haknya secara proporsional namun juga dikenakan berbagai larangan serta kewajiban.
- Usia 15–21 Tahun (Anak Sebagai Sahabat)
Fase ini anak sudah beranjak menjadi dewasa dengan mulai membangun identitas diri. Peran orang tua berubah menjadi sahabat dan pembimbing. Perlu dikomunikasikan bahwa selain mengalami perubahan fisik, ia juga akan mengalami perubahan secara mental, spiritual, sosial, budaya dan lingkungan. Fase ini akan sangat mungkin muncul masalah yang harus dihadapi anak. Orang tua harus membangun kesadaran pada anak-anak bahwa pada usia setelah akil balig ini, ia sudah memiliki buku amalannya sendiri yang kelak akan ditayangkan dan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah ﷻ.
Setelah memasuki usia akil balig, anak perlu memiliki ruang agar tidak merasa terkekang, namun tetap dalam pengawasan kita. Controlling atau pengawasan tetap harus dilakukan tanpa bersikap otoriter dan tentu saja diiringi dengan berdoa untuk kebaikan dan keselamatannya. Dengan demikian anak akan merasa penting, dihormati, dicintai, dihargai dan disayangi. Selanjutnya, ia akan merasa percaya diri dan mempunyai kepribadian yang kuat untuk selalu cenderung pada kebaikan dan menjauhi perilaku buruk.
Kesimpulan
Nasihat Ali bin Abi Thalib adalah pedoman pendidikan Islam yang visioner dan aplikatif. Dengan membagi fase pendidikan anak menjadi tiga tahap sesuai usia, beliau menunjukkan pentingnya memahami psikologi anak serta membina hubungan yang sehat dan mendidik berdasarkan konsep Islam.
Referensi:
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz 3, hlm. 80.
HR. Abu Dawud, no. 495 (tentang salat usia 7 tahun).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud.
Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, no. 35553.
[1] Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, Juz 3, hlm. 80.
[2] Ibnu Qayyim, Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, hlm. 229.
[3] HR. Abu Dawud, no. 495; Hasan.



