Mitos Bulan Safar dan Klarifikasi Rasulullah ﷺ(Bag. 1)

Mitos Bulan Safar dan Klarifikasi Rasulullah ﷺ (Bag. 1)
Muhammad Ichsan, B.A., M.Pd.
- Mukadimah
Pada masa jahiliyah sebelum datangnya Islam, bangsa Arab memiliki keyakinan yang salah terhadap bulan Safar. Mereka menganggap bulan ini sebagai bulan yang membawa sial, bulan musibah, bulan celaka, atau waktu yang tidak baik untuk memulai sesuatu. Sebagian orang menunda bepergian, mengurungkan pernikahan, atau tidak memulai usaha baru hanya karena jatuh pada bulan Safar. Mereka meyakini bahwa bulan ini penuh bala dan malapetaka. Bahkan, ada yang beranggapan bahwa di bulan ini banyak jin dan setan keluar untuk menyebarkan kejahatan.
Sebagai contoh, sebagian mereka tidak mau menikahkan anak di bulan Safar karena takut rumah tangga yang dibangun akan rusak atau tidak berkah. Begitu juga mereka tidak mau bepergian atau berdagang karena takut akan mengalami kerugian. Keyakinan ini adalah warisan dari budaya jahiliyah yang sangat bertentangan dengan ajaran tauhid dan keimanan kepada takdir Allah ﷻ.
Datangnya Islam membawa cahaya yang menghapus semua bentuk keyakinan batil seperti ini. Nabi Muhammad ﷺ menegaskan bahwa tidak ada bulan yang membawa sial. Tidak ada waktu atau tempat yang dengan sendirinya mendatangkan kesialan. Semua itu hanya terjadi dengan izin dan takdir Allah ﷻ. Beliau bersabda,
لا عدوى، ولا طيرة، ولا هامة، ولا صفر
“Tidak ada penularan penyakit dengan sendirinya, tidak ada thiyarah (kesialan karena burung), tidak ada burung hantu, dan tidak ada (kesialan) bulan Safar.”[1]
Hadis ini menjelaskan bahwa empat keyakinan batil di masa jahiliyah telah dibatalkan oleh Nabi ﷺ.
- La ‘adwa : Tidak ada penyakit yang menular dengan sendirinya tanpa izin Allah ﷻ.
- Wa la thiyarah : Tidak ada kesialan yang datang karena pertanda burung atau hal-hal tertentu.
- Wa la haamah: Tidak ada keyakinan bahwa burung hantu sebagai pertanda keburukan atau kematian.
- Wa la Shafar : Tidak ada keyakinan bahwa bulan Safar membawa sial.
Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan, “Yang dimaksud dengan ‘tidak ada Safar’ adalah membatalkan kepercayaan orang jahiliyah bahwa bulan Safar adalah bulan sial. Nabi membatalkan keyakinan tersebut dan menjelaskan bahwa tidak ada waktu yang buruk secara zatnya.”[2]
Begitu pula Syekh Abdurrahman alu Syekh hafizhahullah berkata dalam Syarh Kitab at-Tauhid, “Bulan Safar adalah seperti bulan-bulan lainnya. Tidak ada keistimewaan padanya dalam membawa sial. Barang siapa yang meyakini bahwa bulan ini adalah bulan sial, maka ia telah terjerumus dalam syirik kecil.”[3]
B. Iman kepada Takdir, Penangkal Mitos Bulan Safar
Keimanan kepada takdir adalah rukun iman yang keenam. Kita meyakini bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak dan ketetapan Allah ﷻ. Tidak ada sesuatu pun yang menimpa kita kecuali sudah tertulis dalam Lauhul Mahfuzh. Maka sangat tidak pantas jika kita mengaitkan kesialan dengan bulan Safar atau hari tertentu. Ini adalah bentuk kesyirikan karena menyerahkan kekuasaan Allah ﷻ kepada makhluk atau waktu.
Allah ﷻ berfirman, “Tiada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (QS. At-Taghabun: 11)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Tuhfatul Maudud menjelaskan, “Kesialan tidak terletak pada waktu, tempat, atau benda. Kesialan sejati adalah jika seseorang berpaling dari Allah ﷻ, mengikuti hawa nafsu, dan meninggalkan petunjuk Rasulullah.”[4]
Jadi, musibah yang terjadi di bulan Safar itu bukan karena sebuah kesialan. Tetapi karena Allah ﷻ menghendaki terjadinya takdir tersebut. Musibah bisa terjadi kapan saja, tidak terikat oleh bulan atau tanggal. Bahkan, bisa jadi musibah itu adalah bentuk kasih sayang Allah ﷻ agar kita kembali kepada-Nya.
Sebagai contoh, sebagian orang berkata, “Jangan pindah rumah di bulan Safar, nanti rumah tangganya tidak berkah.” Atau, “Jangan nikah bulan ini, nanti bisa cerai.” Ucapan seperti ini adalah bentuk thiyarah yang dilarang dalam Islam. Nabi ﷻ bersabda,
من ردّته الطيرة عن حاجته فقد أشرك
“Barang siapa membatalkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.”[5]
Karena itu, tugas kita sebagai muslim yang bertauhid adalah membersihkan hati dan pikiran dari keyakinan batil. Kita harus mendidik diri kita dan anak-anak untuk bertawakal kepada Allah ﷻ, bukan kepada ramalan atau mitos. Jika kita ingin melakukan sesuatu, lakukanlah dengan niat yang benar, istikharah, dan bertawakal.
Kita juga bisa mengambil pelajaran dari para ulama dan salaf saleh. Mereka tidak pernah takut melakukan sesuatu di bulan Safar. Mereka menganggap semua bulan itu sama, dan yang menentukan baik buruknya suatu peristiwa adalah iman dan amal kita, bukan waktu itu sendiri.
Dengan demikian, kita bisa simpulkan bahwa mitos bulan Safar adalah peninggalan jahiliyah yang harus ditinggalkan. Islam datang dengan membawa cahaya ilmu dan tauhid, membimbing umat untuk hanya bergantung kepada Allah ﷻ. Musibah yang terjadi bukan karena waktu atau tempat, tetapi karena kehendak Allah ﷻ yang Maha Bijaksana. Tugas kita adalah bersabar, bertawakal, dan terus memperbaiki diri.
[1] (HR. Bukhari no. 5707 dan Muslim no. 2220).
[2] Nawawi, Al Minhaj, (Beirut: Daar Ihya’ at turats), jilid 14, halaman 218.
[3] Abdurrahman alu syaikh bin hasan alu syaikh, Fathul Majid, (Riyadh: daar ash-Shami’iy), hal. 318.
[4] Ibnul Qayyim, Ighatsatul lahafan,(Beirut: Daarul Ma’rifah), jilid 1 halaman 138.
[5] HR. Ahmad no. 7045, dinilai hasan oleh Al-Albani.



