Akidah

Mitos Bulan Safar dan Klarifikasi Rasulullah ﷺ(Bag. 2)

ORDER

Mitos Bulan Safar dan Klarifikasi Rasulullah ﷺ (Bag. 2)
Muhammad Ichsan, BA., M.Pd.

A. Musibah dan Ujian adalah Sunatullah

Setelah kita memahami bahwa bulan Safar bukanlah bulan sial, maka penting bagi kita untuk mengetahui bahwa musibah dan ujian adalah bagian dari sunatullah, ketetapan Allah yang berlaku bagi seluruh hamba-Nya. Ujian adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan seorang mukmin. Bahkan, seseorang tidak bisa dikatakan beriman secara sempurna hingga ia diuji oleh Allah ﷻ.

Allah ﷻ berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِينَ

Dan sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah: 155)

Ayat ini sangat jelas menyebutkan bahwa Allah ﷻ akan menguji manusia dalam berbagai bentuk, seperti rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, kehilangan orang tercinta, bahkan kegagalan dalam usaha atau panen. Semua itu adalah bagian dari cara Allah ﷻ membersihkan jiwa kita, menguji keimanan kita, dan mendidik hati kita agar kembali kepada-Nya.

Dalam ayat lain, Allah ﷻ berfirman,

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji?” (QS. Al-Ankabut: 2)

Ujian adalah bukti cinta Allah ﷻ kepada hamba-Nya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahala tergantung pada besarnya ujian. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Barang siapa yang rida, maka baginya keridaan (dari Allah), dan barang siapa yang murka, maka baginya kemurkaan.”[1]

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitab Ighatsatul Lahafan berkata, “Sesungguhnya ujian dan cobaan itu lebih bermanfaat bagi manusia daripada kenikmatan, karena dengan ujian, hati menjadi bersih, iman menjadi kuat, dan dosa-dosa diampuni.”[2] Beliau juga mengatakan, “Musibah adalah sarana untuk kembali kepada Allah ﷻ. Dan dalam musibah terdapat hikmah, rahmat, dan pembinaan jiwa yang tidak ditemukan dalam keadaan lapang.”[3]

B. Musibah Sebagai Penghapus Dosa-dosa

Musibah yang datang tidak selalu bermakna hukuman. Kadang ia adalah penghapus dosa, kadang ia sebagai bentuk kasih sayang, dan kadang pula sebagai ujian untuk mengangkat derajat seorang hamba. Nabi ﷺ bersabda,

Tidaklah seorang muslim tertimpa kelelahan, penyakit, kegundahan, kesedihan, gangguan, ataupun kesusahan, hingga duri yang menusuknya, kecuali Allah akan menghapus sebagian dosa-dosa karenanya.” [4]

Bisa dibayangkan hanya karena tertusuk duri saja, Allah ﷻ sudah mengampuni dosa-dosa kita. Maka bagaimana lagi jika seseorang menghadapi ujian besar seperti kehilangan suami, anak, harta, atau kesehatan?

Rasulullah ﷺ sendiri adalah manusia paling mulia, tetapi beliau adalah yang paling banyak diuji. Kehilangan orang tua sejak kecil, kehilangan anak-anaknya, difitnah, diusir dari kampung halamannya, bahkan terluka dalam medan perang. Namun, beliau tetap bersabar dan mengajarkan kita bahwa musibah bukanlah akhir dari segalanya, melainkan ladang pahala dan pengokoh iman.

Ketika seseorang diuji, maka itu saatnya ia memperbanyak muhasabah. Bisa jadi ada dosa yang perlu ditebus. Bisa jadi Allah ﷻ ingin mengingatkan kita agar tidak lalai. Allah ﷻ berfirman, “Dan apa saja musibah yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS.  Asy-Syura: 30)

Musibah juga merupakan bentuk pelatihan spiritual agar hati kita tidak terikat pada dunia. Banyak orang yang baru kembali ke masjid, baru rajin berdoa, baru serius bertobat ketika ia diuji. Maka sebenarnya, ujian itu adalah nikmat tersembunyi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga mengatakan, “Musibah yang menimpa seorang mukmin adalah sebab bagi kebaikan dan perbaikan. Baik sebagai penghapus dosa, atau pengingat agar ia kembali kepada Allah.”[5]

C. Penutup

Musibah datang dengan bentuk dan cara yang berbeda-beda. Bagi sebagian orang, diuji dengan kesulitan ekonomi. Bagi yang lain, diuji dengan rumah tangga, dengan anak-anak, bahkan dengan kesepian. Jangan merasa bahwa kita sendiri yang mengalami. Semua manusia diuji. Tetapi yang membedakan adalah bagaimana kita menyikapinya. Karena itu, mari kita hadapi setiap musibah dengan iman, dengan sabar, dan dengan husnuzan kepada Allah ﷻ. Ingatlah firman-Nya,

وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ شَرٌّۭ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Semoga Allah ﷻ berikan kesabaran kepada kita atas musibah-musibah yang diberikan kapan pun dan sebesar apa pun itu. Sesuatu yang menurut kita menyakitkan, boleh jadi itu adalah jalan menuju surga Allah ﷻ.


[1] HR. Tirmidzi no. 2396, dengan sanad yang hasan.
[2]  Ibnul Qayyim, Ighatsatul Lahafan, (Beirut: Daar Al-Ma’rifah), Jilid 1, hal. 96.
[3] Ibid.
[4] HR. Bukhari no. 5641 dan Muslim no. 2573.
[5] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Al Fatawa, (Riyadh: Daar al-‘alam al fawaid), jilid 10 hal. 333.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Check Also
Close
Back to top button