Keluarga

Peran Qawwam dalam Islam

ORDER

Peran Qawwam dalam Islam
Yan Ferdianza, S.Pd., M.Si.

Mukadimah
Kebahagiaan dalam sebuah keluarga dimulai ketika suami menjalankan tugasnya sebagai qawwam dengan sebaik-baiknya. Dalam pandangan Islam, tanggung jawab suami sebagai pemimpin keluarga sangatlah penting. Pengaruhnya terhadap keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga sangat besar. Menciptakan keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah sejatinya bukanlah hal yang sulit jika setiap anggota keluarga memahami peran mereka dengan baik.

Suami sebagai Qawwam
Apabila suami gagal memenuhi perannya sebagai qawwam, hubungan dalam pernikahan dapat terganggu bahkan dapat berujung pada perceraian. Oleh karena itu, pasangan suami-istri seharusnya memahami dan melaksanakan dengan baik fungsi serta peran strategis suami sebagai qawwam dalam perjalanan pernikahan mereka. Di sinilah pentingnya untuk merujuk pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta, yakni Allah ﷻ.

Tanggung jawab suami terhadap istri merupakan amanah dari Allah ﷻ yang tercantum dalam Al-Qur’an dan sunah. Tanggung jawab ini tidak bergantung pada kapasitas atau kemampuan kepemimpinan suami semata. Bahkan, jika istri memiliki kemampuan ekonomi dan kepemimpinan yang lebih baik, kepemimpinan dalam keluarga tetap berada pada suami. Qawwamah sebagai bentuk tanggung jawab kepemimpinan keluarga adalah hal yang mesti dijalankan bersama, selaras dengan prinsip keluarga maslahah dalam feminisme muslim, yang menekankan pada kesetaraan dan saling berbagi.

Al-Qur’an dan sunah menjelaskan mengenai kehidupan suami-istri, hak dan kewajiban masing-masing, serta cara berinteraksi di antara mereka. Allah ﷻ menetapkan peran suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga dengan konsep qawwam.

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ

“Laki-laki (suami) adalah pelindung bagi perempuan (istri). ” (QS. An-Nisa’: 34)

Pemimpin dalam konteks ayat ini adalah jenis kepemimpinan yang menaungi dan melayani, bukan jenis kepemimpinan yang bersifat menginstruksikan atau mengendalikan. Dalam bahasa Arab, makna pemimpin laki-laki terhadap perempuan (qawamah ar-rijal ‘ala an-nisa`) mencakup memberi nafkah dan memenuhi kebutuhan mereka. Pengertian harfiah ini juga sejalan dengan makna syar’i dari kata al-qawamah, yang menunjukkan betapa pentingnya tanggung jawab seorang laki-laki dalam mengatur urusan-urusan wanita.

Tafsir dari ayat الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ dalam QS. An-Nisa’ ayat 34, Menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita dalam arti sebagai kepala, hakim, dan pendidik bagi mereka.[1] Dengan memahami hal ini, interaksi antara suami dan istri dapat berlangsung dengan tenang, damai, penuh kasih sayang, dan persahabatan. Hubungan ini harus berlandaskan pada prinsip saling mendukung, bersahabat, harmonis, serta memperhatikan satu sama lain, bukan dalam suasana yang kaku atau formal.

Allah ﷻ juga memerintahkan suami untuk memperlakukan istri dengan baik.

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

“Dan mereka (perempuan) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang baik. Namun, suami memiliki kelebihan di atas mereka. ” (QS. Al-Baqarah: 228)

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Dan bergaulah dengan mereka secara baik. ” (QS. An-Nisa’: 19)

فَاِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوْفٍ

“Setelah itu, boleh rujuk kembali dengan cara yang baik. ” (QS. Al-Baqarah: 229)

Keberagaman dalam kehidupan pasangan seharusnya menjadi sumber kebahagiaan. Hubungan antara suami dan istri perlu dibangun di atas dasar persahabatan yang kokoh dalam setiap aspek kehidupan. Menjadi pemimpin harus bertanggung jawab dan mampu mengarahkan istri, bukan seperti seorang diktator yang hanya memerintah tanpa memperhatikan kebutuhan dan perasaan pasangan. Di sisi lain, istri diharuskan untuk patuh kepada suami sesuai dengan ketentuan syariat.

Allah ﷻ menekankan kepada suami untuk senantiasa berbuat baik kepada istrinya. Dalam membangun hubungan suami-istri, sangat penting untuk menjalin persahabatan dan interaksi yang harmonis antara keduanya, karena hal ini dapat menenangkan hati dan menciptakan kebahagiaan dalam hidup.

Dalam konteks ini, seorang suami wajib memenuhi hak-hak istrinya, seperti mahar dan nafkah. Dia seharusnya berbicara dengan lembut, tidak bersikap kasar, serta tidak menunjukkan ketertarikan kepada wanita lain jika memiliki lebih dari satu istri. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ yang mengingatkan para suami,

فَاتَّقُ اللهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ

“Bertakwalah kalian kepada Allah dalam (urusan-urusan) wanita (istri). Sungguh kalian telah mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian telah menghalalkan kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat Allah. “[2]

Dari Aisyah radiyallahu ‘anha , Rasulullah ﷺ juga bersabda,

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِه وَ أَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي

“Yang terbaik di antara kalian adalah orang yang paling baik perlakuannya kepada keluarganya. Aku adalah yang terbaik di antara kalian dalam memperlakukan keluargaku.”[3]

Daftar Pustaka
Dr. Abdullah Bin Muhammad Bin Abdurahman Bin Ishaq Al-Sheikh. (2023). Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2. Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi’I.


[1] Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an al-Adzim, (Beirut: Daar al ma’rifah), Jilid 1 hal. 492.
[2] HR. Muslim no. 1218.
[3] HR. At-Tirmidzi no. 3895.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Back to top button