Kemerdekaan, Nikmat yang Terlupakan
Muhammad Ichsan, B.A., M.Pd.
A. Mukadimah
Setiap bulan Agustus, bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaan dengan semarak. Berbagai upacara, perlombaan, hingga hiasan bendera dan umbul-umbul menjadi simbol sukacita atas lepasnya negeri ini dari penjajahan. Di balik semua perayaan itu, sudahkah kita benar-benar merenungi makna sejati dari kemerdekaan?
Bagi seorang muslim, memaknai kemerdekaan tak cukup hanya dengan slogan dan upacara. Ini adalah karunia besar dari Allah ﷻ yang mengandung amanah dan tanggung jawab. Sayangnya, nikmat ini kadang dilupakan dan diabaikan. Kita terlalu larut dalam euforia peringatan, tetapi lalai dari mensyukuri dan memanfaatkannya dengan benar.
B. Nikmat yang Terlupakan
Allah ﷻ telah menyebutkan dalam Al-Qur’an bahwa nikmat yang telah diberikan kepada manusia sangatlah banyak, Allah ﷻ berfirman,
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 18)
Dan nikmat tersebut tidak akan kekal jika mereka kufur terhadapnya. Allah berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), ketika Tuhanmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu; tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.’” (QS. Ibrahim: 7)
Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah dalam tafsir ayat ini menjelaskan, bahwa bentuk syukur terhadap nikmat adalah dengan mengakui nikmat tersebut berasal dari Allah ﷻ, menyebut-Nya, mencintai-Nya, dan menggunakan nikmat untuk ketaatan kepada-Nya. Maka, jika nikmat kemerdekaan hanya dimanfaatkan untuk maksiat dan kesia-siaan, berarti itu adalah bentuk pengingkaran terhadap nikmat Allah.[1]
Banyak dari kita menikmati hasil kemerdekaan seperti hidup yang tenang, bebas beribadah, berdakwah, menuntut ilmu, bekerja, bahkan bersenang-senang. Namun sedikit yang benar-benar menggunakan kebebasan ini untuk meningkatkan keimanan dan ketaatan.
C. Bebas dari Penghambaan Sesama Makhluk
Di dalam bernegara, kemerdekaan secara lahiriah memang penting, tetapi ada yang lebih agung dan lebih hakiki, yaitu kemerdekaan hati dari penghambaan kepada selain Allah ﷻ. Inilah makna tauhid yang sejati. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah berkata:
“Seorang hamba tidak akan merdeka kecuali bila ia benar-benar menjadi hamba Allah semata.”[2]
Sebab, merdeka dalam pandangan Islam bukan berarti bebas melakukan apa saja yang diinginkan hawa nafsu, tetapi bebas dari perbudakan terhadap syahwat, opini manusia, dan segala bentuk penghambaan kepada makhluk. Seorang muslim yang bertauhid sejati tidak tunduk kepada selain Allah, baik dalam ibadah, ucapan, ataupun keputusan hidupnya.
Inilah esensi dakwah para nabi. Ketika Nabi Musa alaihi salam diutus kepada Fir’aun, beliau berkata:
فأَرْسِلْ مَعَنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ
“Lepaskanlah Bani Israil agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Al-A’raf: 105)
Artinya, hakikat kemerdekaan adalah membebaskan manusia dari penindasan agar mereka bisa menyembah Allah ﷻ dengan leluasa.
D. Ulama dan Sikap terhadap Penjajahan
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah di berbagai belahan dunia telah mencontohkan bagaimana mereka menolak penjajahan dan sekaligus membimbing umat untuk mengisinya dengan kebaikan. Di Nusantara, kita mengenal perjuangan para ulama dalam melawan kolonialisme seperti Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, dan lainnya. Mereka memandang bahwa mempertahankan negeri dari penjajahan adalah bentuk jihad fi sabilillah.
Hal ini menunjukkan bahwa membela negeri dari penjajah bukan semata urusan duniawi, melainkan termasuk bagian dari kewajiban agama, khususnya ketika agama dan akidah umat terancam.
E. Mensyukuri Kemerdekaan dengan Ketaatan
Kemerdekaan adalah nikmat dan setiap nikmat harus disyukuri dengan amal. Sayangnya, banyak orang menyalahgunakan kemerdekaan untuk berbuat maksiat, membuka aurat, menebar syubhat, dan menyeru kepada kebebasan tanpa batas. Padahal Allah ﷻ telah memperingatkan:
وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28)
Maka kemerdekaan sejati adalah saat kita bebas beramal saleh, berdakwah, mengajak kepada sunah, dan menjauhi syirik serta maksiat. Inilah bentuk syukur yang benar terhadap nikmat kemerdekaan.
F. Mengisi Kemerdekaan dengan Tauhid dan Amal
Kemerdekaan adalah nikmat besar yang Allah ﷻ anugerahkan kepada bangsa Indonesia. Kemerdekaan bukan hanya milik pejuang tempo dulu, akan tetapi amanah yang diwariskan kepada kita semua. Kita wajib mensyukurinya dengan menjaga agama, memperjuangkan dakwah, dan memakmurkan negeri dengan ilmu dan amal.
Mari kita jadikan momen kemerdekaan ini sebagai sarana muhasabah. Sudahkah kita merdeka dari syahwat? Sudahkah kita bebas dari belenggu kebodohan? Sudahkah kita mengisi kemerdekaan dengan ibadah dan ilmu?
Semoga Allah ﷻ menjaga negeri ini dalam keimanan dan keamanan, serta menjadikannya negeri yang penuh keberkahan karena penduduknya kembali kepada tauhid, sunah, dan ketaatan.
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
[1] Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalami al-Mannan (Beirut: Dar Ibnu Hazm, hlm. 420 (Tafsir QS. Ibrahim: 7).
[2] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, (10/186).


