Mengapa Nabi ﷺ Melarang Buang Air Kecil Berdiri?

Mengapa Nabi ﷺ Melarang Buang Air Kecil Berdiri?
Rudi Hartono, S.Pd., M.Si.
Dalam kehidupan sehari-hari, buang air kecil adalah aktivitas biologis yang terkesan biasa. Dalam Islam kegiatan sederhana ini pun tidak luput dari aturan adab dan kebersihan. Salah satunya adalah larangan Buang Air Kecil berdiri. Rasulullah ﷺ lebih menganjurkan kencing dalam posisi duduk atau jongkok, kecuali bila ada uzur atau keadaan mendesak. Larangan ini tidak hanya menunjukkan kesempurnaan adab dan etika dalam Islam, tetapi juga menyimpan hikmah ilmiah yang baru dipahami oleh sains modern.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, ia berkata bahwa Nabi ﷺ melewati dua kuburan lalu bersabda, “Sesungguhnya keduanya sedang diazab dan tidaklah keduanya diazab karena perkara yang besar menurut anggapan manusia. Adapun yang satu, ia tidak menjaga diri dari air kencingnya. Sedangkan yang lain, ia suka mengadu domba (namimah).”[1]
Dalam riwayat lain, Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan, “Barang siapa yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ buang air kecil sambil berdiri, maka jangan kamu membenarkannya. Beliau tidak pernah buang air kecil kecuali sambil duduk.”[2]
Posisi tubuh saat buang air kecil sangat memengaruhi sistem ekskresi urin. Dalam posisi berdiri, otot-otot dasar panggul dan kandung kemih tidak dalam posisi maksimal untuk relaksasi. Hal ini menyebabkan sisa urin tertahan dalam saluran uretra yang secara medis dikenal sebagai urine retention. Sisa urin yang tidak sepenuhnya keluar dapat menciptakan lingkungan basah dan hangat yang ideal bagi pertumbuhan bakteri patogen, seperti Escherichia coli dan Proteus mirabilis. Kondisi ini berpotensi menyebabkan infeksi saluran kemih, radang prostat, hingga komplikasi pada ginjal jika terjadi berulang.
Urin manusia mengandung urea (CH4N2O), kreatinin, asam urat, natrium, kalium, dan berbagai senyawa nitrogen lainnya. Jika urin tidak keluar sempurna atau terciprat ke tubuh dan pakaian dalam posisi berdiri, maka senyawa-senyawa tersebut akan mengalami degradasi mikrobiologisketika terpapar udara, menghasilkan amonia (NH3) sebagai senyawa volatil. Amonia bersifat basa dan memiliki bau menyengat yang dapat mengiritasi sistem pernapasan serta merusak jaringan kulit dalam jangka panjang.
Lebih lanjut, urin juga membawa senyawa kimia limbah dari metabolisme tubuh, seperti urea, amonium, nitrat, dan fosfat. Ketika urin terciprat ke lantai atau pakaian dan tidak segera dibersihkan, senyawa-senyawa ini dapat bereaksi dengan udara atau air dan mengalami nitrifikasi atau denitrifikasi, menghasilkan gas rumah kaca seperti nitrogen dioksida (NO2). Dalam jangka panjang, akumulasi senyawa-senyawa ini bisa memperparah pencemaran mikrobiologis dan kimiawi, terutama di tempat umum yang tidak dirawat secara higienis.
Dari sisi mikrobiologi, percikan urin pada pakaian (yang tidak terlihat secara kasat mata) juga bisa menjadi media penularan penyakit. Beberapa mikroba penyebab infeksi seperti Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, atau bahkan virus hepatitis A dapat berpindah dari urin ke tubuh manusia melalui kontak tidak langsung.
Selain itu, posisi berdiri saat buang air kecil juga meningkatkan risiko percikan balik. Beberapa studi fisika dan teknik fluida menyatakan bahwa urin yang dikeluarkan dalam posisi berdiri cenderung menghasilkan sudut tumbukan lebih besar terhadap permukaan air toilet, sehingga percikan balik meningkat. Bahkan menurut studi dalam jurnal Physics of Fluids, semakin tinggi posisi pancaran urin, maka semakin besar potensi penyebaran aerosol mikroba ke udara. Ini membahayakan bagi kesehatan, terutama di ruang toilet yang tertutup dan tidak memiliki ventilasi yang baik.
Secara ergonomis, posisi duduk atau jongkok lebih mendukung keluarnya urin secara tuntas. Dalam ilmu urologi, posisi ini melibatkan relaksasi otot puborektalis dan sfingter uretra, memungkinkan kandung kemih kosong secara maksimal. Jongkok juga meningkatkan tekanan intra-abdomen secara alami, memfasilitasi aliran urin. Hal ini membantu mencegah pembentukan batu ginjal akibat penumpukan kristal kalsium oksalat atau asam urat dalam sistem urinaria.
Larangan kencing berdiri bukan sekadar aturan tanpa sebab, melainkan bentuk nyata dari hikmah ilmiah yang baru terbukti setelah abad ke-20. Rasulullah ﷺ telah mencontohkan perilaku buang air yang sehat, bersih, dan penuh adab, jauh sebelum ilmu kedokteran modern menemukan efek negatif dari kebiasaan kencing berdiri.
Dalam sains lingkungan, air kencing yang tidak terkendali juga meningkatkan beban limbah cair domestik. Senyawa-senyawa nitrogenik dari urin dapat menyumbang terhadap eutrofikasi di badan air seperti sungai atau danau, yang menyebabkan pertumbuhan alga berlebih dan mematikan organisme air. Oleh karena itu, pengendalian pencemaran dari sumber urin juga merupakan bagian dari prinsip tanggung jawab ekologis, yang secara tidak langsung telah diajarkan Islam melalui adab buang air.
Sebagai penutup, larangan Buang Air Kecil berdiri dalam Islam bukan bentuk pembatasan, melainkan perlindungan terhadap kesehatan manusia, kebersihan pribadi, dan lingkungan. Sains modern dalam bidang urologi, mikrobiologi, kimia lingkungan, dan ergonomi telah mendukung kebenaran larangan ini dengan bukti ilmiah yang kuat. Ini adalah bukti bahwa syariat Islam selaras dengan fitrah manusia dan mendahului penemuan ilmiah zaman kini.
Daftar Pustaka
Al-Marzouqi, H. A., and Al-Busaidi, I. H. (2021). Islamic Hygiene Practices and Their Relevance to Modern Infection Control. International Journal of Environmental Research and Public Health, 18(6), 3251.
Fariha, A., Zahid, M., and Younas, S. (2022). Human Urine as A Source of Eutrophication: Chemical Insights and Environmental Threats. Journal of Environmental Chemical Engineering, 10(5), 107601.
Noto, G., and Pontillo, M. (2023). Ergonomic and Urodynamic Implications of Squatting Versus Standing Urination Postures in Men: A Systematic Review. Neurourology and Urodynamics, 42(1), 103–112.
Yang, D., Wang, Y., and Zhang, M. (2022). Urinary Tract Infections: Current Perspectives and The Role of Posture During Micturition. Journal of Urology and Clinical Research, 9(1), 1–6.
[1] HR. al-Bukhari no. 216 dan Muslim no. 292.
[2] HR. Tirmidzi no. 12, Abu Dawud no. 1 (dinilai hasan shahih oleh Imam Tirmidzi).



