MotivasiUmum

Poligami, Syariat yang Terzalimi

ORDER

Poligami, Syariat yang Terzalimi
Abu Khadijah Al-Fadani

  1. Mukadimah

Poligami adalah salah satu syariat Islam yang memiliki kedudukan tinggi dalam Islam. Poligami bukanlah perkara baru di dalam Islam, bahkan ia merupakan hukum yang sudah dikenal sejak masa para nabi terdahulu, termasuk Nabi Ibrahim alaihi salam, Nabi Daud alaihi salam, dan Nabi Sulaiman alaihi salam. Syariat Islam kemudian datang mengatur praktik poligami agar berada dalam koridor keadilan, kasih sayang, dan ketaatan kepada Allah. Poligami memiliki banyak manfaat, diantaranya dapat memperbanyak keturunan dan memenuhi kebutuhan emosional serta biologis laki-laki dan wanita.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun juga telah menjelaskan mengenai jumlah lelaki dan wanita dalam sabdanya,

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَقِلَّ الْعِلْمُ وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا وَتَكْثُرَ النِّسَاءُ وَيَقِلَّ الرِّجَالُ حَتَّى يَكُونَ لِخَمْسِينَ امْرَأَةً الْقَيِّمُ الْوَاحِدُ

Di antara tanda-tanda kiamat, yaitu berkurangnya ilmu dan tampaknya kebodohan, tampak zina dan wanita menjadi banyak, sedangkan lelaki menjadi sedikit, hingga seorang lelaki berbanding dengan lima puluh wanita.” [1]

Namun, pada masa kini, syariat mulia ini sering disalahpahami, bahkan menjadi sebuah stigma yang negatif. Poligami kerap dianggap tidak relevan di zaman ini, merendahkan martabat wanita, atau dianggap sebagai penyebab konflik keluarga. Tuduhan-tuduhan ini sejatinya menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap esensi poligami yang diajarkan dalam Islam.

  • Poligami Menurut Pandangan Al-Qur’an dan Sunah

Landasan utama poligami dalam Islam terdapat dalam firman Allah ﷻ,

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” (QS. An-Nisa: 3)

Ayat ini menunjukkan bahwa poligami diperbolehkan dalam syariat, namun dengan syarat dan batasan tertentu. Seseorang boleh menikahi lebih dari satu wanita (maksimal empat), asalkan ia mampu berlaku adil dalam nafkah, tempat tinggal, dan jatah menginap (mabit) yang diberikan kepada istri-istrinya. Namun apabila ia khawatir tidak bisa berlaku adil, maka Allah Ta’ala memerintahkan untuk cukup menikahi satu wanita saja.

Nabi Muhammad ﷺ, sebagai teladan dalam pelaksanaan syariat ini, juga menjalankan poligami dengan penuh hikmah. Dalam berbagai riwayat, beliau menikahi beberapa wanita dengan tujuan yang mulia, seperti mempererat hubungan antar suku, melindungi janda yang membutuhkan, atau demi maslahat dakwah. Namun, bagi kaum muslimin tidaklah diperbolehkan mengikuti jumlah istri Nabi ﷺ, karena jumlah tersebut hanyalah khusus berlaku untuk beliau.

  • Poligami sebagai Rahmat dan Keadilan

Poligami sejatinya adalah bentuk rahmat dari Allah ﷻ. Dalam situasi tertentu, poligami dapat menjadi solusi atas berbagai problem sosial, seperti jumlah wanita yang lebih banyak daripada pria, keberadaan janda-janda yang membutuhkan perlindungan, para perawan tua, atau istri yang memiliki keterbatasan tertentu.

Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa poligami membawa maslahat besar bagi umat manusia. Ia berkata,
“Poligami adalah bagian dari syariat Islam yang sempurna. Dengannya, Allah menjaga kehormatan wanita, menguatkan ikatan keluarga, dan mengurangi kerusakan moral di masyarakat.”[2]

Poligami juga menjadi sarana menegakkan keadilan, khususnya dalam hubungan suami istri. Islam mengatur bagaimana suami harus berlaku adil, terutama dalam perkara lahiriah seperti nafkah dan pembagian waktu. Keadilan inilah yang menjadi syarat utama diperbolehkannya poligami, sebagaimana ditegaskan dalam ayat Al-Qur’an.
Namun, penting dipahami bahwa keadilan yang dimaksud adalah keadilan dalam hal yang mampu dikontrol manusia, bukan keadilan dalam perkara hati. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ya Allah, ini adalah pembagianku dalam apa yang aku kuasai. Maka janganlah Engkau mencelaku atas apa yang tidak aku kuasai.”[3]

D. Poligami yang Terzalimi

Meski syariat poligami memiliki hikmah besar, kenyataannya ia sering disalahpahami dan disalahgunakan. Ada empat bentuk kezaliman yang sering terjadi terkait poligami.

  1. Kezaliman karena Menolak Syariat
    Sebagian orang, termasuk dari kalangan muslim, menganggap poligami sebagai sesuatu yang tidak tidak adil. Mereka menolak syariat ini dengan alasan bahwa ia tidak sesuai dengan zaman modern atau dianggap merendahkan wanita. Padahal, menolak syariat Allah adalah bentuk kedurhakaan yang besar. Allah Ta’ala berfirman,
    “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzab: 36)
  1. Kezaliman dalam Praktik Poligami
    Sebaliknya, ada pula yang melakukan poligami, namun tidak menjalankan syariatnya dengan benar. Misalnya, suami yang berpoligami tetapi tidak mampu berlaku adil, lalai dalam memberikan nafkah, atau bahkan menggunakan poligami sebagai dalih untuk memuaskan hawa nafsu semata. Perilaku seperti ini mencoreng syariat Islam dan memberikan kesan negatif terhadap poligami.
    Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
    “Banyak orang yang melakukan poligami, tetapi tidak memahami kewajibannya. Akibatnya, mereka berlaku zalim kepada istri-istri mereka. Ini adalah pelanggaran terhadap syariat dan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.”[4]

Insyaallah bersambung ke bagian-2


[1] HR Bukhari dan Muslim
[2] Al-Mulakhosh Al Fiqhiy karya Syaikh Shalih al-Fauzan (2/347).
[3] Abu Daud di dalam sunannya nomor 2134 dan Tirmidzi di dalam sunannya nomor 1140.
[4] Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb, jilid 19, halaman 126.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Back to top button