Asuransi Terbaik Untuk Anak
Yan Ferdianza, S.Pd., M.Si.
Mukadimah
Asuransi terbaik tidak hanya berkaitan dengan perlindungan kesehatan atau jaminan masa tua, melainkan yang paling berharga bagi orang tua adalah memiliki anak yang shaleh dan bertakwa. Sudahkah kita mempersiapkan hal ini?
Dalam buku Alfu Qishshoh wa Qishshoh karya Hani Al Hajj, terdapat perbandingan antara dua khalifah dari Dinasti Bani Umayyah, yaitu Hisyam bin Abdul Malik dan Umar bin Abdul Aziz. Keduanya memiliki sebelas anak, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, terdapat perbedaan signifikan dalam warisan yang mereka tinggalkan. Hisyam bin Abdul Malik memberikan warisan kepada setiap anak laki-lakinya sebesar 1 juta Dinar, sedangkan anak laki-laki Umar bin Abdul Aziz hanya mewarisi masing-masing setengah dinar.
Hisyam bin Abdul Malik dengan semua kekayaannya memberikan warisan yang melimpah, tetapi ironisnya, keturunan beliau akhirnya hidup dalam kemiskinan. Di sisi lain, meskipun Umar bin Abdul Aziz meninggalkan warisan yang jauh lebih kecil, semua anaknya tinggal di negara yang makmur, dan salah satu dari mereka bahkan mampu menyumbangkan harta untuk kepentingan negara, seperti kuda dan perbekalan untuk 100. 000 penunggang kuda.
Harta Berkah
Kisah ini mengingatkan kita akan pentingnya keberkahan dalam mempersiapkan harta untuk masa depan anak-anak kita. Secara nominal, satu juta dinar (sekitar dua miliar dinar saat ini) memang terdengar sangat besar, tetapi tidak ada jaminan bahwa angka tersebut akan membawa kebahagiaan di akhir hidup. Bahkan, harta yang melimpah ini malah dapat mendorong anak-anak dan keturunan mereka ke dalam kesulitan.
Dari cerita ini, kita belajar bahwa yang terpenting bukanlah seberapa banyak warisan uang yang kita tinggalkan, melainkan keberkahan dalam harta yang kita hasilkan untuk anak-anak. Keberkahan inilah yang akan menjadi modal berharga bagi mereka dalam merencanakan masa depan, serta mendorong mereka untuk menjadi pribadi yang bertakwa.
Wawasan ini penting dan mendidik, tidak hanya bagi mereka yang tidak memiliki warisan, tetapi juga bagi mereka yang memiliki banyak harta. Mari kita renungkan dua ayat berikut ini yang dapat memberikan semangat baru.
Ayat Pertama:
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ.
“Adapun dinding rumah itu adalah milik dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya tersimpan harta benda untuk mereka, sementara ayah mereka adalah seorang yang shaleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai pada kedewasaan dan mengeluarkan simpanan itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. ” (Qs. Al Kahfi: 82)
Ayat ini menjelaskan tentang perlindungan Allah atas anak yatim, di mana Allah mengutus orang shaleh untuk memperbaiki rumah yang rusak tanpa biaya.
Menurut penjelasan Al Qurthubi rahimahullah, ayat ini menunjukkan bahwa Allah melindungi orang shaleh dan anak-anaknya meskipun mereka terpisah. Diriwayatkan bahwa Allah melindungi orang yang shaleh hingga tujuh generasi.
Sementara itu, Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menambahkan bahwa kedua anak yatim tersebut mendapatkan perlindungan karena kesholehan ayahnya, meskipun tidak disebutkan kesholehan mereka. Kesholehan ayah ini berlanjut hingga tujuh keturunan. Sebelumnya, beliau adalah seorang tukang tenun.
Selanjutnya, Ibnu Katsir menjelaskan dengan tegas: “Pernyataan bahwa ‘ayah keduanya adalah seorang yang shalih’ menunjukkan bahwa seorang yang shalih akan dijaga keturunannya. Keberkahan dari ibadahnya akan menyelimuti mereka di dunia maupun di akhirat dan akan memberikan syafaat bagi mereka, serta mengangkat derajat mereka ke tempat yang tinggi di surga, agar ia dapat gembira melihat mereka, sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an dan Hadits. Said bin Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa kedua anak tersebut dijaga karena kesholehan ayah mereka, walaupun tidak disebutkan kesholehan mereka. Ini menunjukkan bahwa ia adalah ayah yang jauh dari kesholehan. Wallahu A’lam.
Pada ayat yang kedua,
إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ
“Sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh. ” (Qs. Al A’raf: 196)
Ayat ini menegaskan keyakinan orang-orang beriman bahwa Allah yang berkuasa atas penurunan wahyu sebagai manifestasi dari rahmat-Nya kepada ciptaan-Nya, akan senantiasa menggunakan kuasa dan rahmat-Nya untuk menafkahi, melindungi, dan membantu orang-orang yang bertakwa. Ini seharusnya menjadi sumber kekuatan keimanan kita, termasuk dalam hal kepercayaan kepada anak kita setelah kita tiada.
Cerita tentang seorang yang mulia.
Ketika Umar bin Abdul Aziz mendekati akhir hayatnya, Maslamah bin Abdul Malik datang menemuinya dan berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, engkau telah mengosongkan mulut anak-anakmu dari harta ini. Seandainya engkau mewasiatkan mereka kepadaku atau kepada orang-orang sepertiku dari masyarakat ini, mereka akan berkecukupan. ”
Mendengar itu, Umar bin Abdul Aziz lalu berkata, “Aku memahami apa yang engkau sampaikan, wahai Maslamah. Namun, aku tegaskan bahwa aku tidak pernah mendzalimi hak anak-anakku, dan tidak akan memberikan sesuatu yang merupakan hak orang lain kepada mereka. Mengenai wasiat yang engkau sebutkan, wasiatku untuk mereka adalah: ((إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ)). Apabila anakku termasuk yang shalih, maka Allah akan mencukupinya; namun jika mereka tidak shalih, aku tidak ingin menjadi orang yang pertama membantunya dengan harta untuk melakukan maksiat kepada Allah. ” (Umar ibn Abdil Aziz Ma’alim At Tajdid wal Ishlah, Ali Muhammad Ash Shalaby)
Demikianlah ayat tersebut mempengaruhi keyakinan Umar bin Abdul Aziz. Ia optimis bahwa pendidikan yang ia berikan kepada anak-anaknya telah membuahkan hasil, meskipun hanya setengah dinar untuk hak anak laki-laki dan seperempat dinar untuk hak anak perempuan. Ia percaya sepenuhnya bahwa Allah akan menjaga dan menolong anak-anaknya setelah kepergiannya. Kisah ini membuktikan keyakinannya tersebut.
Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah besar yang berhasil membangun kesejahteraan masyarakat, tentu berhak mendapatkan kesejahteraan yang sama, atau bahkan lebih sebagai pemimpin. Namun, ia tidak meninggalkan banyak harta. Tak ada tabungan yang memadai, tak ada usaha yang mapan, dan tidak ada bentuk asuransi seperti yang kita kenal saat ini.
Tetapi dia tidak merasa khawatir sedikit pun, bahkan tidak ada rasa takut yang terbersit. Karena apa yang disyaratkan oleh ayat telah ia penuhi: anak-anaknya yang shalih dari hasil didikannya.
Kesimpulannya:
- Barangsiapa yang ingin mewariskan kepada anaknya jaminan masa depan dalam bentuk tabungan, asuransi, usaha, dan sebagainya, harus memperhatikan cara mewariskan harta benda yang halal.
- Hendaklah berhati-hati dalam bergantung pada kekayaan atau perhitungan belaka, dan jangan lupakan Allah yang mengetahui segala apa yang akan terjadi.
- Terlepas dari seberapa kaya atau miskinnya, jaminan masa depan seorang anak yang terpenting adalah adanya keadilan, baik untuk ayah maupun untuk anak. Dengan kebaikan dan ketulusan hati sang ayah, anak-anak akan selalu terlindungi. Sementara itu, dengan perilaku baik dan keshalihan anak-anak, mereka akan mendapatkan perhatian, perlindungan, dan pertolongan dari Allah.



