Poligami, Syariat yang Terzalimi (Bagian 2)

Poligami, Syariat yang Terzalimi (Bagian 2)
Abu Khadijah, BA., M.Pd.
A. Sunah yang Ditinggalkan
Meski demikian indahnya ajaran Islam yang menghalalkan poligami, namun dalam mempraktikkan syariat ini tentu perlu memenuhi syarat dan ketentuan yang telah digariskan. Namun para ulama seperti Syekh Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwa syariat ini sekarang merupakan contoh sunah yang ditinggalkan, terutama di kalangan wanita muslimah. Dalam arti bahwa ia merupakan ajaran yang disyariatkan dalam Islam, tetapi banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin, baik karena faktor sosial, budaya, atau pemahaman yang kurang tepat terhadap syariat.
Syekh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata,”Poligami adalah sunah Rasulullah ﷺ dan tidak diperbolehkan bagi kaum muslimin untuk membenci syariat tersebut. Ataupun mendoktrin manusia lainnya untuk membencinya sebagaimana firman Allah, ‘Yang demikian itu adalah karena mereka membenci apa yang diturunkan Allah, lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka (QS. Muhammad: 9).’”[1]
Padahal syariat poligami merupakan solusi yang diberikan Rabbul Alamin kepada para hamba-Nya. Syekh Muhammad al Amin asy-Syinqithi Rahimahullah berkata, “Al-Qur’an menghalalkan poligami untuk kemaslahatan para wanita agar mendapatkan suami dan kemaslahatan lelaki agar tidak terbuang kemanfaatannya ketika seorang wanita dalam keadaan uzur. Serta (untuk) kemaslahatan umat agar menjadi banyak jumlahnya, lalu dapat menghadapi musuh-musuhnya demi menegakkan kalimatullah agar tetap tinggi.”[2]
B. Mengembalikan Pemahaman yang Benar
Untuk menghapus stigma negatif terhadap poligami, penting bagi kaum muslimin kembali kepada ajaran Islam yang murni. Poligami harus dipahami sebagai bagian dari syariat Allah yang memiliki tujuan mulia. Masyarakat juga perlu diberi edukasi tentang hukum, syarat, dan hikmah poligami.
Syekh Shalih al-Fauzan memberikan nasihat,”Hendaknya seorang muslim menerima syariat Allah dengan sepenuh hati. Apa yang Allah perintahkan pasti membawa kebaikan dan apa yang Allah larang pasti membawa keburukan.”[3]
Demikian pula bagi mereka yang ingin menjalankan poligami, hendaknya mereka memahami tanggung jawab besar yang menyertainya. Poligami bukanlah sekadar hak, tetapi juga amanah dan tanggung jawab yang harus dijalankan dengan penuh keadilan, kasih sayang, dan ketakwaan kepada Allah.
C. Banyak dari Sahabat Menjadi Praktisi Poligami
Di antara faktor pendukung bahwa poligami bukanlah hal yang mesti untuk ditolak adalah banyaknya orang-orang saleh dahulu yang menjalankannya. Bahkan perlu diketahui bahwa sembilan dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga merupakan praktisi poligami.
- Abu Bakar Ash-Shiddiq menikah dengan 4 Istri, memiliki 6 anak.
- Umar bin Khattab menikah dengan 7 istri, memiliki 6 putra dan 3 putri.
- Utsman bin Affan menikah dengan 8 istri, memiliki 7 putra dan 2 putri.
- Ali bin Abi Thalib menikah dengan 9 istri, memiliki lebih dari 14 anak.
- Thalhah bin Ubaidillah menikah dengan 6 istri, memiliki lebih dari 9 anak.
- Az-Zubair bin Awwam menikah dengan 6 istri, memiliki lebih dari 10 anak.
- Abdurrahman bin Auf menikah dengan lebih dari 4 istri, memiliki lebih dari 10 anak.
- Sa’ad bin Abi Waqqash menikah dengan 12 istri, memiliki 19 putra dan 19 putri.[4]
- Sa’id bin Zaid menikah dengan 2 istri, memiliki 3 putra.
- Abu Ubaidah bin Jarrah. (tidak disebutkan sumber yang jelas apakah beliau menikah atau tidak).
D. Alasan Seorang Wanita Tidak Ingin Dipoligami
Berdasarkan pengalaman yang penulis dapatkan dari salah seorang praktisi poligami yang sudah berpengalaman,dapat penulis simpulkan bahwa ketidakmauan wanita dipoligami adalah dikarenakan masih ada salah satu dari keempat masalah, yaitu:
- Masalah pada Rabb-nya, seperti seorang wanita yang masih memiliki syubhat dalam akidahnya terkait poligami, ia menanggap bahwa poligami adalah bentuk ketidakadilan Allah pada hamba-Nya. Atau seorang Wanita yang terdapat benih kemunafikan pada hatinya sehingga membenci syariat poligami.
- Masalah pada suaminya, seperti para wanita yang tidak percaya dengan kemampuan suaminya. merka merasa bahwa tangki cinta pada dirinya belum terpenuhi, atau mereka merasa track record suaminya kepada dirinya buruk, sehingga ia tidak ingin ada wanita lain yang merasakan kepahitan tersebut seperti halnya yang ia rasakan.
- Masalah pada dirinya, seperti seorang wanita yang sadar bahwa dirinya memiliki sifat pencemburu dan ia khawatir tidak bisa mengontrol rasa cemburunya tersebut pada wanita lain. Atau bisa jadi karena ia minder dengan dirinya sendiri, sehingga ia pun memilih untuk menolak dipoligami.
- Masalah orang-orang sekitarnya (publik), seperti wanita yang takut diserang oleh setan-setan berwujud wanita dengan pertanyaan-pertanyaan pedas seperti “Kenapa dipoligami? Apa suamimu sudah tak sayang lagi pada dirimu?” atau “Kok mau suaminya nikah lagi? Apa kamu sudah tak mampu lagi melayani suamimu?”, dan pertanyaan-pertanyaan semisalnya yang pada hakikatnya mengandung penolakan terhadap syariat poligami.
E. Penutup
Poligami adalah syariat Allah Taala yang indah dan penuh hikmah, maka dapatkanlah keindahan hikmah dari syariat tersebut dengan meluruskan niat terlebih dahulu, yaitu untuk menolong para wanita dan bukan untuk tujuan syahwat semata. Poligami bukanlah syariat yang mengandung kezaliman secara zatnya, karena Allah Taala berfirman,
وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Dan Rabbmu tidak akan pernah menzalimi siapa pun juga.” (QS. Al-Kahfi [18]: 49)
Maka tidaklah mungkin Allah Taala membolehkan sesuatu hal yang mengandung kezaliman, sebagaimana Firman-Nya di dalam Hadis Qudsi,
يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.
Maka jangan sampai kita mencela syariat Allah yang sudah diridai oleh-Nya,
ألْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Ma’idah: 3). (Bersambung ke bagian 3, insyaallah.)
[1] Al Muntaqa min fatawa syekh al-Fauzan (3/251)
[2] Dinukil dari Jami’ Ahkamun-Nisaa` (3/446).l
[3] Al-Mulakhosh Al Fiqhiy karya Syekh Shalih al-Fauzan (2/347)
[4] Sumber https://rumaysho.com/27093-saad-bin-abi-waqqash-penunggang-kuda-yang-piawai.html



