
Membuat Mazhab Fikih Baru
Rizky Nurhassani Pratama
- Pendahuluan
Dalam khazanah dunia Islam kita pasti tidak asing lagi dengan empat orang yang bernama Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal Rahimahumullah. Mereka dikenal dengan imam mujtahid mutlaq dalam ilmu fikih yang masyhur dan memiliki kapabilitas ilmu yang diakui setiap zaman. Meski ijtihad dan yurisprudensi mereka berbeda dalam bidang fikih yang nantinya melahirkan produk-produk fikih berbeda, akan tetapi semuanya bermuara pada sumber yang sama yakni Al-Qur’an dan sunah.
Dari perbedaan itulah muncul mazhab-mazhab fikih yang terbentuk atas inisiatif murid-murid dari setiap imam. Murid-murid mengabadikan interpretasi para imam mazhab terhadap isi dari Al-Qur’an dan sunah dengan menuliskan setiap pendapat-pendapatnya ketika menghadiri majlis taklim mereka. Definisi mazhab itu sendiri adalah pendapat-pendapat imam dalam masalah-masalah syariat yang bersifat ijtihadi, apa yang setara dengan pendapat mereka, dan apa yang dihasilkan berdasarkan pendapat atau prinsip dasarnya.[1]
B. Jumlah Mujtahid Mutlaq dan Hukum Bermazhab
Pendapat fikih para imam yang dikodifikasikan oleh masing-masing muridnya hingga menjadi sebuah mazhab bukanlah pendapat yang baru hingga menyelisihi pendapat sahabat. Para imam mazhab menghimpun segala statement para sahabat terkait persoalan fikih dan menguatkan pendapat yang menurut mereka paling rajih. Sejatinya pendapat para imam mazhab merupakan perpanjangan dari pendapat para sahabat yang sebelumnya saling berbeda pendapat juga terkait masalah-masalah fikih.
Jumlah imam mazhab tidak terbatas pada empat imam seperti yang disebutkan di atas, hanya saja murid imam-imam tersebut tidak menulis dan membukukan pendapat-pendapat (aqwal) gurunya. Karena itu pendapat-pendapatnya hilang ditelan zaman, meski tidak menutup kemungkinan ada sedikit pendapat yang sampai pada kita saat ini. Mazhab-mazhab ini dikenal juga dengan sebutan mazhab mundasiroh (sekte yang punah), di antaranya sebagai berikut.
- Imam Al-Hasan Al-Bashri (110 H)
- Imam Al-Auza’i (157 H)
- Imam Sufyan Ats-Sauri (161 H)
- Imam Al-Laits bin Sa’ad (175 H)
- Imam Sufyan bin Uyaynah (198 H)
- Imam Ishaq bin Rohawaih (238 H)
- Imam Abu Tsaur (246 H)
- Imam Ibnu Jarir At-Thabari (310 H)[2]
Lalu apakah seorang muslim wajib bermazhab dalam fikih? Realita yang hadir di masyarakat bahwa banyak keretakan kaum muslimin disebabkan karena taklid pada mazhab tertentu dan ta’asshub (terlalu fanatik), mudah menyalahkan pendapat mazhab lain. Maka para ulama berbeda pendapat terkait hukum bermazhab.
- Hukumnya Wajib
Berkata Syekh Muhammad Amin As-Syinqithi, “Para ulama usul fikih kontemporer dari seluruh mazhab menyatakan akan kewajiban bermazhab bagi setiap muslim.”
- Hukumnya sebatas boleh
1. Berkata Al-Qodhi Iyad, “Telah terjadi konsensus bagi kaum muslimin untuk mengikuti mazhab yang ada serta mempelajarinya.”
2. Berkata Ibnu Hubairoh (mendeskripsikan mazhab yang empat), “Bahwa umat Islam telah berijmak akan kebolehan mengamalkan mazhab yang empat.”
3. Berkata Ibnu Farhun, “Bahwa ijmak kaum muslimin adalah bolehnya mengikuti mazhab fikih dan telah sepakat para ulama akan kebolehan mengikutinya, mempelajari segala kitabnya, serta memperdalamnya.” - Hukumnya Tidak Boleh
Berkata Ibnu Hazm, “Maka ketahuilah siapa pun yang mengambil seluruh pendapat Imam Abu Hanifah atau Imam Malik atau Imam Syafi’i tanpa melakukan telaah kritis terhadapnya, maka sesungguhnya ia telah menyelisihi ijmak (konsensus) umat.[3] - Syarat dan ketentuan menjadi Mujtahid Muthlaq
Ada beberapa syarat yang wajib terpenuhi bagi seorang muslim bila ingin menjadi mujtahid muthlaq hingga ia mampu membuat mazhab fikih sendiri. Pendapat-pendapatnya dapat dihimpun dan diabadikan lewat tulisan-tulisan, serta diteruskan oleh para muridnya. Berikut adalah syarat-syaratnya.
- Ilmu pengetahuan terhadap kitab Allah ﷻ (Al-Qur’an) yang kuat.
- Ilmu pengetahuan terhadap sunah yang berkaitan dengan hukum syar’i.
- Ilmu pengetahuan tentang nasikh dan Mansukh.
- Ilmu pengetahuan tentang masalah ijmak (konsensus ulama).
- Ilmu pengetahuan tentang qiyas (analogi hukum).
- Ilmu pengetahuan tentang ilmu bahasa Arab.
- Ilmu pengetahuan tentang usul fiqih.
Tipe individu seperti ini sudah tidak lagi ditemukan dan tidak mungkin bagi seorang manusia untuk menghimpun seluruh karakteristik tersebut, terutama dengan pesatnya perkembangan zaman, keragaman disiplin ilmu, banyaknya peristiwa dan kasus kontemporer, serta adanya ketergantungan pada spesialisasi umum maupun spesialisasi subdisiplin yang sangat spesifik dalam berbagai bidang ilmu dan aspek kehidupan.[4]
Maka dapat dikatakan bahwa untuk membuat mazhab fikih baru pada era ini sangat sulit dan kita tidak dituntut pula untuk membuat mazhab yang baru. Cukup bagi kita mengamalkan ibadah dengan mengikuti mazhab yang ada. Wallahu a’lam.
[1] At-Tamadzhub 1/73, Dr. Muhammad bin Musa’id Ar-ruwayta’
[2] Haqibatu ta’hilil fiqhi a’la madzhabil Imam Syafi’i. Hal. 18, Kumpulan Para Ulama.
[3] Ibid. Hal. 28.
[4] Al-Wajiz fii Ushul Fiqh Islami 2/294, Syekh Zuhaili.


